BAB I.PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Permasalahan
1.1.1.Latar belakang
ISPA merupakan penyakit infeksi saluran nafas yang secara anatomi dibedakan atas saluran nafas atas mulai dari hidung sampai dengan laring dan saluran nafas bawah mulai dari laring sampai dengan alveoli, akibat invasi infecting agents yang mengakibatkan reaksi inflamasi saluran nafas. Hingga saat ini telah dikenal lebih dari 300 jenis bakteri dan virus sebagai penyebab ISPA. Berdasarkan definisi ini diagnosis ISPA ditegakkan dengan pembuktian jenis infecting agent dan adanya inflamasi saluran nafas. Pembuktian ini membutuhkan pemeriksaan laboratorium yang tidak sederhana sehingga tidak mudah diterapkan pada saat ini di Indonesia dan kadangkala di negara maju. ISPA timbul setelah tanda dan gejala akut akibat inflamasi saluran nafas karena adanya invasi infecting agent. Dikatakan demikian jika tanda dan gejala tersebut terjadi sekurang-kurangnya setelah 48 jam bebas gejala berlangsung tidak lebih dari 14 hari.
Penyakit ISPA mencakup penyakit saluran napas bagian atas (ISPaA) dan saluran napas bagian bawah (ISPbA). ISPAaA mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah kecil, tetapi dapat menyebabkan kecacatan misalnya otitis media yang merupakan penyebab ketulian. Sedangkan hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA), paling sering adalah pneumonia (WHO 2003). Kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama ISPA di Indonesia pada akhir tahun 2000 sebanyak lima kasus diantara 1.000 balita (Depkes RI, 2003).
ISPA ini menyebabkan 4 dari 15 juta kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun pada setiap tahunnya. Setiap anak balita diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya dan proporsi kematian yang disebabkan ISPA mencakup 20-30%.
Morbiditas ISPA lebih banyak pada negara maju. Di Indonesia morbiditas ISPA di pedesaan relatif lebih rendah dari perkotaan. Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga tahun di Indonesia memperlihatkan ISPA atas dan bawah merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas bayi dan anak balita. Survei menunjukkan 25,7% penduduk menderita ISPA dengan penyebaran 42,4% pada anak di bawah 1 tahun, 40,6% pada usia 1- 4 tahun dan 32,5% pada anak berumur 5 - 14 tahun. Untuk daerah Sumatera Utara basil survei Kesehatan Rumah Tangga ISPA atas menduduki tempat pertama 16,5%, sedang ISPA bawah pada urutan ke enam yaitu 5,2%.
Khusus untuk Jawa Tengah, penyakit ISPA juga merupakan masalah kesehatan utama masyarakat. Penyakit pneumonia adalah penyebab nomer satu (15,7%) dari penyebab kematian balita di Rumah Sakit. Pada tahun 2002, cakupan penemuan pneumonia balita di Jawa Tengah mencapai 19,03%. Angka tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2003 yaitu menjadi 21,16% dan pada tahun 2004 mengalami peningkatan menjadi 50,6%
Mortalitas ISPA di Amerika Utara 0,5% per 1000 anak di bawah usia 1 tahun, dan 3-8 per 1000 anak usia 1-5 tahun, sedangkan laporan dari berbagai negara berkembang berkisar 10-44 per 1000 anak di bawah 1 tahun dan 3-8 per 1000 pada anak berusia antara 1-5 tahun. Dari data ini diperkirakan angka kematian akibat ISPA perseribu penduduk 100-200 kali lebih tinggi di negara berkembang dari pada negara maju.
Mortalitas ISPA yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Kematiannya kebanyakan akibat bronkopneumonia dan bronkiolitis. Pada negara berkembang diperkirakan 20-25% kematian anak Balita diakibatkan ISPA
BAB II. ISI
2.1. Penyakit Infeksi saluran nafas akut
2.1.1. Patogenesis
Proses terjadinya ISPA terlebih dahulu melalui proses prepatogenesis, dimana agent infeksi sudah ada tetapi belum mengalami reaksi apa-apa. Kejadian sangat banyak penyebabnyai dan tergantung pada daerah indemik yang didiami, pengaruh dari geografis sehingga agen infeksi mudah berkembang, perubahan suhu yang kejadian ini makin mempercepat berkembangnya. Selain itu pengaruh kerusakan lingkungan itu sendiri asap, gas buang sarana tranfortasi yang terhirup oleh kita.
Agen infeksi ISPA biasanya berbentuk doplet di udara yang kemudian masuk ke lapisan epitel dan mukosa yang seharusnya untuk melindungi dari berbagai bahaya akhirnya di rusak olek agen infeksi. Sehingga akan berpengaruh kepada kita yang mengakibatkan menurunnya sistem imun tubuh, hal ini diperparah dengan kekurang gizi. Pada fase ini agen infeksi mengalami inkubasi dalam tubuh selama 2-5 hari dan akhirnya akan memberikan tanda dan gejala penyakit. Proses timbulnya tanda dan gejala penyakit ini disebut dengan tahap penyakit dini yang nantinya akan berkelanjutan dengan tahap penyakit lanjut yang sangat memerlukan pengobatan.
Setelah proses ini masuk ke fase apakah penyakit ini benar-benar sembuh atau kronik ini tergantung pada proses pengobatan tadi apakah benar dalam menangulanginya atau tidak
2.1.2. Klasifikasi dan gejala klinik
2.1.2.1Klasifikasi ISPA
Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun.
Golongan Umur Kurang 2 Bulan
Pneumonia Berat
Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu 6x per menit atau lebih.
Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)
Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas cepat. Tanda Bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu:
1. kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari ½ volume yang biasa diminum)
2. kejang
3. kesadaran menurun
4. stridor
5. wheezing
6. demam
Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun
Pneumonia Berat
Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta).
Pneumonia Sedang
Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:
1. Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih
2. Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih.
Bukan Pneumonia
Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat. Tanda Bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu:
1. tidak bisa minum
2. kejang
3. kesadaran menurun
4. stridor
5. gizi buruk
2.1.2.2 .Gejala ISPA
Gejala dari ISPA Ringan
Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1. Batuk
2. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara misal pada waktu berbicara atau menangis).
3. Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.
4. Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370 C atau jika dahi anak diraba.
Gejala dari ISPA Sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1. Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu tahun atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan menghitung jumlah tarikan nafas dalam satu menit. Untuk menghitung dapat digunakan arloji.
2. Suhu lebih dari 390 C (diukur dengan termometer).
3. Tenggorokan berwarna merah.
4. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak
5. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
6. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).
7. Pernafasan berbunyi menciut-ciut.
Gejala dari ISPA Berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
1. Bibir atau kulit membiru.
2. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas.
3. Anak tidak sadar atau kesadaran me
2.1.3.Penegakan Diagnosis
Pemeriksaan bakteriologik dan penunjang lainnya dapat membedakan penyebabnya bakteri atau virus. Tidak spesifiknya gejala klinik, basil biakan oro dan nasofaring yang positif terhadap S. pneumonia dan H. influenzae, basil kultur bakteri yang positif akibat kontaminasi, kultur darah yang hanya sebagian kecil positif dan kultur aspirat pungsi paru yang sulit dilakukan dan invasif walaupun merupakan metoda paling baik untuk menentukan etiologi, semuanya merupakan masalah. Untuk mengatasinya harus difikirkan pengembangan
pemeriksaan serologis terhadap S. pneumonia dan H. Influenzae berupa pemeriksaan antigen, antibodi dan CRP. Pemeriksaan CRP berguna untuk membedakan penyebab ISPA bakteri atau virus. Untuk mengetahui virus sebagai penyebab dapat dilakukan pemeriksaan kultur walaupun umumnya sangat sulit dilakukan. Sediaan berasal dari hapusan tenggorok, hidung, aspirat nasofaring atau dari serum pada masa akut dan konvalesen. Kultur ini dilakukan pada embrio ayam, ginjal monyet, Hela/Hep 2 cells atau human lung fibroblast. Pemeriksaan mikroskop elektron, imunofloresen, enzim, redioimmunoassay, haemagglutination, haernadsorption dan deteksi IgM spesifik membutuhkan waktu lebih singkat sehingga deteksi virus secara dini dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran dan penggunaan antibiotika yang tidak rasional.
2.1.4.Pengelolaan
Mengingat pencegahan lebih baik dari pengobatan maka sebaiknya pengelolaan ISPA dilaksanakan secara menyeluruh meliputi penyuluhan kesehatan yang baik, menggalakkan imunisasi dan penatalaksanaan penderita secara medik sebagaimana lazimnya. Walaupun morbiditas ISPA bawah relatif lebih kecil dari ISPA atas namun fasilitas klinik yang dibutuhkan dalam penanganannya sangat tinggi. Selayaknyalah pemberantasan ISPA bawah diprioritaskan dengan menitik beratkan usaha penekanan morbiditas ISPA bawah baik sebagai lanjutan ISPA atas atau tidak dan mortalitasnya. Penyuluhan Kesehatan Penyuluhan kesehatan berperan mengurangi risiko mortality ISPA berupa bayi berat badan lahir rendah, gizi kurang, kebiasaan ibu merokok dan keengganan ibu menyusukan bayinya. Penyuluhan ini penting sekali bagi ibu-ibu sebagai tenaga kesehatan non-formal untuk mengenal ISPA ringan, sedang dan berat untuk pengelolaan penderita selanjutnya.
Imunisasi Peningkatan cakupan imunisasi penyakit ISPA dengan menggalakkan imunisasi difteri, pertusis dan morbili sangat berberan dalam usaha pemberantasan ISPA.
2.1.5.Pengobatan
Pengobatan meliputi pengobatan penunjang dan antibiotika. Pemberian antibiotika pada infeksi sinusitis, tonsilitis eksudatif, faringitis eksudatif dan radang telinga tengah.
Antibiotik yang Dapat Dipilih pada Terapi Sinusitis (Anonim, 2005).
Sinusitis Akut
Lini Pertama
• Amoksisillin Anak: 20-40 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis. Dewasa: 3 x 500mg
• Kotrimoxasol Anak: 6-12mg /kg/hari terbagi dalam 2 dosis. Dewasa: 2 x 2 tab dewasa
• Eritromisisn Anak: 30-50mg/kg/hari terbagi dalam6jam. Dewasa: 4 x 250-500mg
• Doksisiklin Dewasa: 2 x 100mg
Lini Kedua
• Amoksisilin-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis. Dewasa: 2 x 875mg
• Cefuroksim 2 x 500mg
• Klaritromisin Anak: 15mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis. Dewasa: 2 250mg
• Azitromisisn 1 x 500mg, kemudian 1 x 250mg selama 4 hari berikutnya.
• Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500mg
Sinusitis Kronik
• Amoksisilin-clavulanat Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis. Dewasa: 2 x 875mg
• Azitromisin Anak: 10mg/kg pada hari 1 diikuti 5mg/kg selama 4 hari berikutnya. Dewasa: 1 x 500mg, kemudian 1 x 250mg selama 4 hari
• Levofloxacin Dewasa: 1 x 250-500mg
Tujuan terapi antimikroba sinusitis akut adalah perbaikan klinik, sterilisasi sekresi sinus, mencegah sinusitis kronik dan juga komplikasi intrakranial dan orbita. Berdasarkan pada spektrum organisme yang diisolasi dari sinus yang terinfeksi, dapat diramalkan bahwa antibiotik seperti amoksilin, ampisilin, cefaclor, atau trimetoprim sulfametoksazol akan cocok. Sefalosporin parenteral seperti safuroksim dapat bermanfaat pada penderita di rumah sakit. Pemberian agen vasokontriksi lokal atau sistemik dapat membantu membuka kembali ostium sinus, sehingga memperbaiki drainase sekresi. Kadang-kadang dibutuhkan drainase bedah terutama penderita sakit dengan sinusitis akut atau kronik atau penderita dengan penyebaran infeksi intrakranial dari sinus.
Antibiotik pada Terapi Faringitis karena Streptococcus group A (Anonim,2005).
Lini Pertama
• Penicilin G (untuk psien yang tidak dapat menyelesaikan terapi oral selama 10 hari)
• Penicilin VK Anak: 2-3 x 250mg Dewasa: 2-3 x 500mg 10 hari
• Amoksisillin-Clavulanat 3 x 500mg selama 10 hari Anak: 3 x 250mg Dewasa: 3 x 500mg 10 hari
Lini Kedua
• Eritromisin (untuk pasien alergi Penicilin) Anak: 4 x 250mg Dewasa: 4 x 500mg 10 hari
• Azitromisin atau Klaritromisin 5 hari
• Sefalosporin generasi satu atau dua Bervariasi sesuai agen 10 hari
• Levofloksasin (hindari untuk anak maupun wanita hamil)
Sejumlah antibiotik terbukti efektif pada terapi faringitis oleh Streptococcus group A, yaitu mulai dari penicillin dan derivatnya, sefalosporin maupun makrolida. Penicillin tetap menjadi pilihan karena efektifitas dan keamanannya sudah terbukti, spektrum luas serta harga yang terjangkau. Lama terapi dengan terapi antibiotik oral rata-rata selama 10 hari untuk memastikan eradikasi Streptococcus, kecuali pada azitromisin hanya 5 hari. Untuk infeksi yang menetap atau gagal, maka pilihan antibiotik yang tersedia adalah eritromisin, cefaleksin, klindamisin ataupun amoksisilin klavunalanat.
Terapi otitis media akut meliputi pemberian antibiotik oral dan tetes bila disertai pengeluaran sekret. Untuk pasien dengan sekret telinga (otorrhea), maka disarankan untuk menambahkan terapi tetes telinga ciprofloxacin atau ofloxacin. Pilihan terapi untuk otitis media akut yang persisten yaitu otitis yang menetap 6 hari setelah menggunakan antibiotik, adalah memulai kembali antibiotik dengan memilih antibiotik yang berbeda dengan terapi pertama. Profilaksis bagi pasien dengan riwayat otitis media ulangan menggunakan amoksisilin 20mg/kg satu kali sehari selama 2-6 bulan berhasil mengurangi insiden otitis media sebesar 40-50%.
BAB III.KESIMPULAN
Telah diutarakan ISPA pada bayi dan anak di Indonesia dengan membandingkannya dengan barat ternyata morbiditas dan mortalitas ISPA bayi dan anak di Indonesia masih tinggi. Kendala yang ditemui antara lain belum ditemukannya pola bakteriologi, mikrobiologi dan virologi sehingga penggunaan antibiotika yang rasional belum terlaksana sebagaimana mestinya Kendala lain yang juga berperan tapi belum semua terungkapkan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas ISPA.
Adanya penyakit-penyakit ISPA yang sembuh dengan gejala sisa yang merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit paru kronis di masa mendatang menjadi tantangan bagi kita semua. Sangat dibutuhkan penelitian-penelitian berikutnya untuk mengungkapkan kendala-kendala yang dihadapi pada program pemberantasan ISPA dalam usaha menurunkan angka kematian bayi dan anak untuk menunjang program pcmerintah.
Daftar Pustaka
Sylvia A Price., Lorraine M Wilson., 2003. Konsep klinik proses-proses penyakit patofisiologi, edisi 6, EGC, Jakarta
Hoffbrand, A.V., Pettit,J.E., Mos, P.A.H., 2005. Kapita selekta, edisi 4, EGC, jakarta
Zumrotun, 2010. http://www.scibd.com/ Epidemiologi-Infeksi-Saluran-Pernafasan-Akut-Ispa
Yusmaninita, 2006. http://www.scibd.com/ antibiotik pada ISPA, rasionalisasi penggunaan obat ISPA
Ridwan Muchtar Daulay, 2006. http://www.scibd.com/ Kendala Penangan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Edy rosdi, 2009. http://www.scibd.com/ Penanggulangan dan
Pengelolaan Program Pemberantasan Infeksi Saluran Pernapasan Akut

0 comments:
Post a Comment