Torsi testis


Torsi testis adalah suatu keadaan dimana funikulus spermatikus terpuntir sedemikian rupa sehingga terjadi gangguan vaskulariasi dari testis dan struktur jaringan di dalam skrotum, terjadinya deformitas pada testis berotasi didalam tunika vaginalis dan menyebabkan strangulasi suplai darah.

Epidemiologi

Penyakit ini paling sering terjadi pada laki-laki usia 8-20 tahun dan terjadinya mendadak. bila dibiarkan berlangsung lebih dari 3-4 jam, menyebabkan terjadinya infark dan kemudian atrofi dari organ-organ bersangkutan.
Trauma menjadi faktor penyebab pada sekitar 50% pasien.
Anatomi
Testis adalah organ genitalia pria yang terletak di skrotum. Ukuran testis pada orang dewasa adalah 4×3×2,5 cm dengan volume 15-25 ml berbentuk ovoid kedua buah testis terbungkus oleh jaringan tunika albuginea yang melekat pada testis. Diluar tunika albuginea terdapat tunika vaginalis yang terdiri atas lapisan viseralis dan parietalis, serta tunika dartos. Otot kremaster yang berada disekitar testis memungkinkan testis dapat digerakan mendekati rongga abdomen untuk mempertahankan temperatur testis agar tetap stabil.




Vaskularisasi
Testis mendapatkan darah dari beberapa cabang arteri, yaitu :
¬ Arteri spermatika interna yang merupakan cabang dari aorta
¬ Arteri deferensialis cabang dari arteri vesikalis inferior
¬ Arteri kremasterika yang merupakan cabang arteri epigastrika.
Pembuluh vena yang meninggalkan testis berkumpul membentuk pleksus Pampiniformis. Plesksus ini pada beberapa orang mengalami dilatasi dan dikenal sebagai verikokel.

Patofisiologi

Torsi testis terjadi akibat perkembangan abnormal dari funikulus spermatikus atau selaput yang membungkus testis. Insersi abnormal yang tinggi dari tunika vaginalis pada struktur funikulus akan mengakibatkan testis dapat bergerak, sehingga testis kurang melekat pada tunika vaginalis viseralis. Testis yang demikian mudah memuntir dan memutar funikulus spermatikus. Biasanya hal ini terjadi pada masa pubertas dan sekitar 25 tahun, tetapi dapat terjadi pada usia berapapun
Torsi dari funikulus spermatikus dan testis juga dapat terjadi pada masa janin atau neonatus didalam rahim atau sewaktu persalinan. Perputaran terjadi pada funikulus bagian inguinalis diatas insersi tunika vaginalis dan dikenal sebagai torsi funikulus spermatikus ekstravaginal.
Torsi testis dapat terjadi setelah testis mengalami trauma, seorang pria yang melakukan aktifitas yang sangat berat atau dapat juga terjadi tanpa alasan yang jelas.
Arah dari torsi testis (dilihat dari kaudal) yaitu :
•Testis kanan : arah puntiran mengikuti atau searah dengan jarum jam
•Testis kiri : arah puntiran berlawanan dengan arah jarum jam

Diagnosis

Diagnosis torsi testis didapat dari gejala gejala (anamnesis) dan pemeriksaan fisik.
Manifestasi klinik
•Akibat dari kontraksi otot yang belawanan aliran darah berhenti dan terbetuknya edema.
•Timbul mendadak, nyeri hebat dan pembengkakan dalam skrotum, sakit perut hebat, kadang-kadang disertai dengan rasa mual dan muntah.
•Terjadi retraksi dari testis kearah kranial, karena funikulus spermatikus terpuntir tadi memendek
•Testis yang dirasakan membesar.

Pemeriksaan fisik

•Edema skrotalis, eritema, demam dan hilangnya reflek kremasterika
•Testis pada sisi yang terkena sering lebih tinggi jika dibandingkan dengan sisi testis yang lain.
•Funikulus menebal
•Bila telah lama berlangsung maka testis menyatu dengan epididimis dan sukar dipisahkan, keduanya membengkak, timbul effusian, hiperemia, udema kulit dan subkutan
•Testis umumnya sangat nyeri tekan dan elevasi tidak menghilangkan nyeri seperti sering terjadi pada epididimis akut.

Diagnosis banding
1. Epididimis akut
Disebabkan oleh sejumlah organisme. Pada pria diatas usia 35 tahun, E. coli merupakan penyebab epididimistis, pada pria di bawah usia 35 tahun Clamydia Trochomatis merupakan organisme penyebeb penyakit ini. Gambaran klinisnya yaitu pada stadium akut mungkin ada nyeri, pembengkakan dan demam ringan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan skrotum membesar, dapat ditemukan nyeri tekan pada funikulus spermatikus dan pada palpasi menunjukan epididimis yang nyeri dan menebal. Dapat sulit membedakan epididimistis dari torsi testis.


2. Orkhitis
Orkhitis merupakan peradangan testis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan testis kanan dan kiri.
3. Hernia inguinalis
Gejala berupa benjolan di daerah inguinal yang dapat mencapai scrotum. Benjolan dapat timbul pada saat berdiri atau mengejan.
4. Hidrokel Testis
Hidrokel testis merupakan pengumpulan cairan di dalam ruang antara kedua lapisan membran tunika vaginalis. Diagnosis hidrokel ditegakkan dengan tes transluminasi atau diapanaskopi positif.
5. Tumor Testis
Merupakan pertumbuhan sel-sel ganas didalam testis yang dapat menyebabkan testis membesar atau menyebabkan adanya benjolan di dalam skrotum.
Kebanyakan terjadi pada usia dibawah 40 tahun, penyebab pasti belum diketahui.
Beberapa faktor yang menunjang timbulnya tumor testis adalah :
- Perkembangan testis yang abnormal.
- Sindroma klinefelter
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik, kemudian juga dapat diketahui dengan pemeriksaan darah untuk petanda tumor Alfa Fetoprotein (AFP), Human Chorionic Gonadotropin (HCG) dan Lactic Dehydrogenase (LDH).
6. Verikokel
Adalah pelebaran abnormal (varises) dari pleksus pampiniformis yang mengalirkan darah dari testis. Lebih sering mengenai testis kiri. Biasanya tidak ada gejala yang menyertai varikokel, namun beberapa pria terdapat perasaan berat pada sisi yang terkena. Perbaikan verikokel yaitu dengan cara pembedahan.

Terapi

Tindakan untuk mengatasi torsi testis terdiri dari 2 cara yaitu : detorsi atau reposisi manual dan eksplorasi atau dengan cara pembedahan.

Detorsi manual dapat dilakukan pada kasus-kasus yang dini atau merupakan tindakan awal bagi pasien sebelum dibawa ke rumah sakit. Tindakan ini dilakukan dengan mengingat arah torsi pada umumnya. Reduksi yang berhasil akan memberikan pemulihan segera untuk aliran darah ke tistis. Tindakan ini tidak boleh dianggap sebagai pengobatan atau terapi definitif dan eksplorasi gawat darurat harus tetap dilakukan .
Reduksi manipulatif tidak dapat menjamin penyembuhan sempurna dan masih ada torsi dengan tingkat tertentu, meskipun pemasokan darah telah dipulihkan. Selain itu abnormalitas semula yang menyebabkan torsi masih tetap ada dan mungkin melibatkan testis pada sisi yang lain. Oleh karena itu fiksasi operatif kedua testis diharuskan.
Eksplorasi mutlak dilakukan pada setiap kasus yang diduga torsi. Keadaan ini memerlukan penanganan pembedahan yang segera karena iskemik dan nekrosis serta kerusakan testis dapat terjadi dalam waktu yang singkat. Testis umumnya dapat diselamatkan jika pembedahan dilakukan dalam waktu 6 jam setelah awaitan torsio. Tingkat penyelamatan menurun 70% setelah 6 sampai 12 jam dan 20% setelah 12 jam.
 

Anemia Aplastik


Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoisis yang relatif jarang ditemukan namun mengancam jiwa. Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.

Epidemiologi
Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun, peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas.

Etiologi Anemia Aplastik
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak diketahui. Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit lain.
1.Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif.
2.Bahan-bahan kimia
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia.
3.Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon.

4.Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis, virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi hepatitis

Patogenesis
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel. “Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).

Gejala dan Pemeriksaan Fisis Anemia Aplastik
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ. Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan.


Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis.
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.
Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi.

b. Pemeriksaan sumsum tulang
karena adanya sarang-sarang hemopoisis hiperaktif yang mungkin teraspirasi, maka sering di lakukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang pada kasus anemia aplastik.hasil pemerikasaan menjadi kreteria diagnosis.
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang yang diturunkan, karena banyak diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran elemen seluler dan digantikan oleh jaringan lemak.
Diagnosa
Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan pemeriksaan sumsum tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia disertai sumsum tulang yang miskin selularitas dan kaya akan sel lemak sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan hiposelularitas sumsum tulang tersebut dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia aplastik

Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid. Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik.